Thursday 10 December 2015

Otonomi Daerah



Otonomi daerah di Sumatra Barat
            Polemic politik yang terjadi di Indonesia mulai dari Indonesia merdeka sampai saat ini masih belum mencapai kata akhir. Politik dijadikan seolah olah lahan permainan menang kalah bagi para petinggi yang duduk di bangku pemerintahan. Kita lihat mulai dari kasus kasus politik yang melanda Indonesia, Suoekarno dilanda kisruh G 30 S/PKI dan munculnya permintaan desentralisasi pemerintahan yang akhirnya ,elahirkan perang saudara yang kita kenal  dengan PRRI., Soeharto terjadi penyimpangan kekuasaan dengan menjadikan dirinya penguasa otoriter dan berujung pada kudeta tahun 1998. Dilanjutkan dengan pemerintahan era reformasi yang dihadapkan dengan prakter KKN berjamaah oleh para petinggi pemerintahan. Hal ini sungguh menyakitkan hati rakyat terutama yang sangat berharap sangat perubahan tersebut terjadi. Terlepas dari semua itu kali ini penulis mencoba membahas suatu hasil dari perjuangan rakyatyang diimulai dari peristiwa PRRI sampai reformasi yaitu lahirnya UU tentang desentralisasi kekuasaan atau yang akrab disebut dengan otonomi daerah.
Otonomi daerah itu sendiri ialah kondisi atau ciri untuk tidak dikontrol oleh pihak lain atau kekuatan luar atau bentuk pemerintahan sendiri, yaitu hak untuk memerintah dan menentukan nasibnya sendiri (Anas, 2010:144). Dimana sisitim pemerintahan dibagi dan dipercayakan kepada masyarakat dareah masing masing untuk mengatur pemerintahannya bedasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu hasil dari otonomi daerah ini adalah munculnya sistim pemerintahan nagari yangberkembang di daerah Sumatra Barat.
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan 32 tahun 2004, nagari didefenisikan sebagai kesatuan hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Artinya nagari yang dipimpin oleh seorang wali nagari langsung bertanggungjawab kepada bupati atau wali kota dan seorang wali nagari tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat kenagarian tersebut melalaui sebuah pilkada. Nagari terdiri dari beberapa jorong atau desa yang kita kenal secara umum.
            Dibawah wali nagari atau kenagarian juga ada pemerintahan yang lebih kecil yaitu jorong atau desa. Jorong dipimpin oleh seorang wali jorong yang notabennya bertanggung jawab kepada wali nagari namun juga bertanggung jawab kepada bupati atau wali kota sehingga seorang wali jorong juga akan mendapatkan pelatihan langsung dari bupati. Suatu jorong dihuni oleh banyak suku dan sebuah suku juga dipimpin oleh seorang kepala suku yang dikenal dengan datuk pangulu. Akan tetapi seorang pangulu tidak bertanggung jawab kepada wali jorong akan tetapi pangulu bertanggung jawab kepada datuk 4 suku yang mana datuk 4 suku mengepalai beberapa suku bisa jadi lebih dari 4 suku.
            Dari gambaran diatas maka nampaklah perbedaan antara bentuk pemerintahan hasil otonomi yang berkembang di wilayah Sumatra Barat khususnya lagi di kabupaten Lima Puluh Kota. Secara sekilas memang Nampak bahwa ada dualisme kepemimpinan yang berkembang di suatu wilayah sehingga dalam menanggapi suatu persoalan sering ada dua keputusan yang diambil satu dari pemerintahan yang diturunkan dari pemerintahan NKRI dan satu lagi dari pemerintahan adat. Di uraian diatas bisa dikatakan bahwa seorang wali jorong memiliki kedudukan yang sama dengan datuk 4 suku akan tetapi dalam kenyataannya keputusan datuk 4 suku mengalahkan keputusan yang dikeluarkan oleh wali nagari dalam konteks kemasyarakatan akan  tetapi tidak dalam hal keadministrasian. Kejadian seperti ini mungkin saja menjadi suatu hal yang aneh di kalangan penduduk lain terutama yang berada diluar daerah Sumatra Barat akan tetapi menjadi hal mendasar yang baku dikalangan masyarakat terutama yang berada di kabupaten Lima Puluh Kota.