Otonomi daerah di Sumatra Barat
Polemic politik
yang terjadi di Indonesia mulai dari Indonesia merdeka sampai saat ini masih
belum mencapai kata akhir. Politik dijadikan seolah olah lahan permainan menang
kalah bagi para petinggi yang duduk di bangku pemerintahan. Kita lihat mulai
dari kasus kasus politik yang melanda Indonesia, Suoekarno dilanda kisruh G 30
S/PKI dan munculnya permintaan desentralisasi pemerintahan yang akhirnya
,elahirkan perang saudara yang kita kenal
dengan PRRI., Soeharto terjadi penyimpangan kekuasaan dengan menjadikan
dirinya penguasa otoriter dan berujung pada kudeta tahun 1998. Dilanjutkan
dengan pemerintahan era reformasi yang dihadapkan dengan prakter KKN berjamaah
oleh para petinggi pemerintahan. Hal ini sungguh menyakitkan hati rakyat
terutama yang sangat berharap sangat perubahan tersebut terjadi. Terlepas dari
semua itu kali ini penulis mencoba membahas suatu hasil dari perjuangan
rakyatyang diimulai dari peristiwa PRRI sampai reformasi yaitu lahirnya UU
tentang desentralisasi kekuasaan atau yang akrab disebut dengan otonomi daerah.
Otonomi daerah itu sendiri ialah kondisi atau
ciri untuk tidak dikontrol oleh pihak lain atau kekuatan luar atau bentuk
pemerintahan sendiri, yaitu hak untuk memerintah dan menentukan nasibnya sendiri
(Anas, 2010:144). Dimana sisitim pemerintahan dibagi dan dipercayakan kepada
masyarakat dareah masing masing untuk mengatur pemerintahannya bedasarkan
aturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu hasil dari otonomi daerah
ini adalah munculnya sistim pemerintahan nagari yangberkembang di daerah
Sumatra Barat.
Dalam UU No. 22
Tahun 1999 dan 32 tahun 2004, nagari didefenisikan sebagai kesatuan hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Artinya nagari yang dipimpin
oleh seorang wali nagari langsung bertanggungjawab kepada bupati atau wali kota
dan seorang wali nagari tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat kenagarian
tersebut melalaui sebuah pilkada. Nagari terdiri dari beberapa jorong atau desa
yang kita kenal secara umum.
Dibawah wali nagari atau kenagarian juga ada pemerintahan yang
lebih kecil yaitu jorong atau desa. Jorong dipimpin oleh seorang wali
jorong yang notabennya bertanggung jawab kepada wali nagari namun juga
bertanggung jawab kepada bupati atau wali kota sehingga seorang wali jorong
juga akan mendapatkan pelatihan langsung dari bupati. Suatu jorong dihuni oleh
banyak suku dan sebuah suku juga dipimpin oleh seorang kepala suku yang dikenal
dengan datuk pangulu. Akan tetapi seorang pangulu tidak bertanggung jawab
kepada wali jorong akan tetapi pangulu bertanggung jawab kepada datuk 4 suku
yang mana datuk 4 suku mengepalai beberapa suku bisa jadi lebih dari 4 suku.
Dari gambaran
diatas maka nampaklah perbedaan antara bentuk pemerintahan hasil otonomi yang
berkembang di wilayah Sumatra Barat khususnya lagi di kabupaten Lima Puluh
Kota. Secara sekilas memang Nampak bahwa ada dualisme kepemimpinan yang
berkembang di suatu wilayah sehingga dalam menanggapi suatu persoalan sering
ada dua keputusan yang diambil satu dari pemerintahan yang diturunkan dari
pemerintahan NKRI dan satu lagi dari pemerintahan adat. Di uraian diatas bisa
dikatakan bahwa seorang wali jorong memiliki kedudukan yang sama dengan datuk 4
suku akan tetapi dalam kenyataannya keputusan datuk 4 suku mengalahkan
keputusan yang dikeluarkan oleh wali nagari dalam konteks kemasyarakatan akan tetapi tidak dalam hal keadministrasian.
Kejadian seperti ini mungkin saja menjadi suatu hal yang aneh di kalangan
penduduk lain terutama yang berada diluar daerah Sumatra Barat akan tetapi
menjadi hal mendasar yang baku dikalangan masyarakat terutama yang berada di
kabupaten Lima Puluh Kota.