Ma'rifatullah
Oleh : Rizki Zakwandi, dkk
Ma’rifatullah merupakan puncak pengetahuan bahkan merupakan pengetahuan
yang paling agung. Ia merupakan asas yang menjadi landasan kehidupan rohani
seluruhnya. Definisi dan maksud makrifat dalam pandangan ulama' tasawuf: Sheikh
Abdus Samad Al-Palembangi berkata makrifat adalah tujuan terakhir yang ingin
diperoleh oleh ulama’ tasawuf. Ahli
Tafsir berpendapat yang dimaksudkan dua syurga di sini ialah syurga dunia dan
syurga akhirat. Syurga akhirat (taman indah) yang akan didiami oleh orang
mukmin diakhirat kelak, manakala syurga dunia ialah makrifat dengan matahati
(syuhud), yang sangat lazat, sedap, manis sehingga tidak hendak lagi akan
syurga akhirat itu seperti bidadari-bidadari, makanan-makanan syurga,
kota-kota, mahligai-mahligai, pelayan-pelayan muda beliau dan lain-lain lagi. Begitulah
seperti dikatakan tuan guru Haji Daud, Bukit Abal, syurga makrifat tersangatlah
lazat dan sedapnya.
Sheikh Al-Jurjani berkata, al-Makrifat bermaksud “Mengetahui hakikat
sesuatu dan tujuan kewujudan nya, ialah makrifat didahului dengan sifat al-jahil,
berbeda dengan sifat al-ilm”. Oleh kerana itu dinamakan Allah swt sebagai
al-‘Alim bukan al-‘Arif. Sheikh Ibnu ‘Athaillah berkata, ”Makrifat ialah
mengetahui hakikat sesuatu dari sudut zat dan sifat serta mengetahui fungsinya”
Tuan guru Haji Daud Umar Bukit Abal
mengatakan, makrifat tasawuf ialah mengenal Allah swt melalui musyahadah
matahati dan bukan melalui dalil akli dan nakli. Makrifat manusia terhadap
Allah swt yang telah dialami semenjak di alam arwah itu boleh menjadi terlupa
dan terhijab dengan sifat-sifat kemanusiaan yang terdapat pada diri seorang
yang salih dan dosa-dosa yang mereka lakukan. Ruh berasal dari alam arwah,
seni, halus, bebas dan cemerlang. Setelah dimasukkan kedalam jasad, maka ia
menjadi terlupa karena memasuki jasad yang gelap, terbelenggu dan kasar. Untuk
mengingatinya kembali, seorang itu perlu bermujahadah untuk membersihkan
hatinya, seperti firman Nya, “Dan orang yang berkerja keras didalam agama kami,sesungguhnya
kami akan pimpin mereka dijalan-jalan kami dan sesungguhnya Allah berserta
orang-orang yang berbuat kebaikan.”(al-Ankabut:69)
B. Cara Bermakrifat
Ada dua sarana untuk
melakukan ma’rifatullah yaitu :
1.
Memikirkan dan memperhatikan segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah.
Menggunakan akal fikiran
untuk berma'rifat kepada Allah SWT begitu banyak disinggung dalam Al-Quran :
Berbagai ayat Mengenai hal ini dapat dibaca pada bab Quran & Sains.
Beberapa contoh ayat yang menjelaskan hal ini:
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Katakanlah: Periksalah olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan bumi...(Q.S. Yunus: 101)
وَكَأَيِّنْ مِنْ آَيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ
"Alangkah Banyaknya ayat (tanda kekuasaan Allah) di langit dan bumi yang
mereka lalui, tetapi mereka itu semua membelakanginya saja (tidak
memperhatikannya)."
(Q.S. Ysuf: 105).
2. Mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
Nama-nama dan sifat-sifat
Allah merupakan perantara yang digunakan Allah SWT agar Makhluknya dapat
berma'rifat kepadaNya.
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Rahman, mana saja nama Tuhan yang
kamu seru, Dia adalah mempunyai nama-nama yang baik..." (Q.S. Al-Ira':
110).
Jumhur ulama bersepakat bahwa nama-nama Allah yang baik (Asmaul Husna) itu
ada 99 nama. Hal ini berlandaskan pada hadis riwayat Bukhari, muslim dan
Tirmidzi yang menjelaskan hadis dari Abu Hurairah Rasulullah saw bersabda yang
artinya: Allah itu mempunyai sembilan puluhsembilan nama. Barangsiapa yang
menghafalnya (mengingatnya dan menghadirkan dalam kalbu), ia masuk surga.
Sesungguhnya Allah itu Maha Ganjil dan cinta kepada hal yang ganjil".
Ma’rifatullah dapat dilakukan dengan bertafakur. Sesungguhnya tiap organ
tubuh mempunyai tugas, sedangkan tugas akal adalah merenungkan, memperhatikan
dan memikirkan. Jika potensi ini tidak difungsikan maka hilanglah kerja akal
dan tidak berfungsi pula tugasnya. Islam menghendaki agar akal bangkit
melepaskan diri dari belenggunya dan bangun dari tidurnya.
Tidak memfungsikan akal dapat menurunkan derajat manusia ke tingkatan yang
lebih rendah dari derajat binatang. Taqlid (mengikuti orang lain tanpa
mengetahui alasan dan tujuannya) menjadi penghalang bagi kemerdekaan akal dan
pengekang akal untuk berpikir. Oleh karena itu Allah memuji orang-orang yang
bersikap objektif terhadap berbagai fakta dan dapat membedakan antara yang satu
dengan yang lain, sesudah diteliti, diperiksa, dan dicermati lalu mereka
mengambil yang terbaik dan meninggalkan yang lain. Allah mencela orang-orang yang bertaqlid yang tidak mau berpikir kecuali
mengikuti pikiran orang lain. Ketika Islam mengajak manusia untuk berpikir,
sesungguhnya apa yang dikehendakinya adalah berpikir dalam batas kemampuan dan
jangkauan akal.
“Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan jangalah kamu
memikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan dapat memikirkan kadar
kedudukan-Nya(sebagai mana mestinya).” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam alHilyh secara marfu’ kepada Nabi
dengansanad yang lemahtetapi maknanya shahih).
Diantara tujuan paling mulia yang dikehendaki Islam dari upayanya
membangkitkan akal dan memfungsikannya untuk merenung dan memikirkan sesuatu
adalah memberi petunjuk kepada manusia agar memahami dan kemudian membimbingnya
dengan lembut kepada hakikat yang besar yakni mengenal Allah. Sesungguhnya
ma’rifatullah itu hanyalah hasil kerja akal pikiran yang cerdas dan memperoleh
ilham, dan buah pemikiran yang mendalam dan cemerlang. Sarana lain yang dipergunakan
Islam untuk mengenalkan manusia kepada Allah dengan menjelaskan nama-nama Allah
yang baik (al-Asma’ al-Husna) dan sifat-sifat-Nya yang luhur.
“Katakanlah: serulah Allah dan serulah Ar-Rahmaan. Dengan
nama yang mana saja yang kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaul-Husna (nama-nama
yang terbaik)” (Al-Israa’ : 110)
“Dan bagi Allah-lah nama-nama yang terbaik, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul-Husna itu.” (Al-A’raaf : 180)
C. Dzat Ilahiyah
Sesungguhnya hakikat Dzat Tuhan tidak dapat diketahui oleh akal.
Sebab Dzat tuhan memang tidak dapat dijangkau oleh akal, dan sesungguhnya
meskipun akal manusia itu cerdas dan kemampuan untuk mengetahui sesuatu telah
mencapai puncaknya namun ia sangat terbatas dan sangat lemah untuk mengetahui
hakikat berbagai hal. Akal pun tidak mampu mengetahui (hakikat) jiwa manusia
itu sendiri. Padahal jiwa manusia itu bukanlah suatu hal yang asing. Persoalan
tentang jiwa masih merupakan salah satu persoalan yang sulit dipecahkan oleh
ilmu pengetahuan maupun filsafat. Akal juga tidak dapatmengetahui hakikat
cahaya. Padahal cahaya merupakan barang yang paling tampak dengan sangat jelas.
Ilmu manusia sampai sekarang ini masih tidak mampu menguak banyak hal tentang
hakikat alam semesta ini, dan tidak mampu berbicara tentang hal itu secara
pasti. Seorang ahli falak terkenal, Kamikl Flamaryun dalam bukunya “Kekuatan
Alam Yang Misteri” berkata : “Kami melihat diri kami sedang berfikir. Namun apa
itu berpikir? Tidak seorang pun dapat menjawab pertanyaan ini, dan kami melihat
diri kami sedang berjalan. Akan tetapi apa sebenarnya kerja itu? Tidak seorang
pun mengetahui hal itu.” Keterbatasan akal pikiran, kelemahan untuk mengetahui
hakikat sesuatu, dan ketidakmampuan akal untuk mengetahui hakikat jiwa manusia
tidaklah berarti menafikan keberadaannya. Kelemahan akal untuk mengetahui
hakikat cahaya tidak berarti menafikan adanya cahaya yang memancar diberbagai
ufuk. Demikian pula mengenai dzat Tuhan. Bila manusia tidak mampu mengetahui
hakikatnya, maka tidak berarti bahwa Dia tidak ada,bahkan Dia ada dan
keberadaan-Nya jauh lebih kuat dari segala yang ada. Orang yang meminta
pembuktian atas adanya Tuhan bagaikan orang buta yang menuntut bukti atas
adanya matahari di siang hari bolong.
D. Sifat-Sifat Allah
Sifat-sifat yang dimiliki
Allah yang diantaranya disebut sifat salsabiyah dan di antaranya ada
yang disebut sifat tsubutiyah. Sifat salsabiyah adalah sifat yang
meniadakan segala sesuatu yang tidak layak bagi kesempurnaan Allah.
Sifat salsabiyah tersebut
adalah Al-Awwal dan Al-Akhir. Allah adalah dzat yang maha dahulu,
artinya bahwa tiada permulaan bagi wujud-Nya dan bahwa wujud Allah tanpa
didahului dengan tahap tiada. Allah adalah dzat yang Maha Akhir. Artinya
bahwa Allah itu dzatnya tiada akhir, kekal tanpa batas, dan tanpa berkesudahan.
Dia itu Azali (Maha dahulu) dan abadi, tidak didahului oleh siapapun.
“Dialah yang Awwal dan
yang Akhir, yang Dhahir dan yang Bathin dan Dia mengetahui segala sesuatu.”(Al-Hadiid : 3)
“Tiap-tiap sesuatu pasti
binasa, kecuali Allah”(Al-Qashash :88)
Menurut keterangan
hadits-hadits yang ada tampak bahwa ‘Arasy merupakan makhluk bagian atas yang pertama
kali diciptakan dan bahwasanya air merupakan makhluk berupa benda yang pertama
kali diciptakan. Dan air ini diciptakan sebelum penciptaan ‘Arasy sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi. Sesudah penciptaan ‘Arasy dan
air barulah kemudian Allah menciptakan langit dan bumi. Begitu juga tampak dari
hadist shahih yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Tirmidzi bahwa makhluk ma’nawi
yang pertama kali diciptakan adalah Qalam (pena).
“Diriwayatkan dari Ubadah
bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi bersabda: Sesuatu yang
pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qolam(pena). Kemudian Allah berfirman
kepadanya :’Tulislah’. Kemudian qalam itu terus berjalan mencatat apa yang ada
(segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini) sampai datangnya hari
kiamat.” (HR Bukhari)
Perlu diketahui tidaklah
benar seseorang yang berkata: “Allah telah menciptakan makhluk-makhluk, lantas
siapa yang menciptakan Allah?” Hal ini disebabkan pertanyaannya keliru.
Pencipta itu bukan makhluk. Sebab andaikata Dia makhluk niscaya memerlukan
pencipta. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengetahui dzat Tuhan, sedangkan
mengetahui hakikat dirinya pun tidak tahu.
“Orang akan selalu
bertanya, sehingga ditanyakan juga hal yang berikut: “Allah telah menciptakan
makhluk lalu siapa yang menciptakan Allah?” Maka barang siapa menjumpai
pertanyaan seperti itu hendaklah ia berkata: Aku beriman kepada Allah (Yang
Maha Pencipta).” (HR. Imam Muslim)
Allah yang Maha Suci tidak
ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dia tidak sama dengan apapun. Segala
sesuatu yang terlintas dibenak anda maka Dia tidaklah seperti itu
“Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura : 11)
Manusia diciptakan oleh
Allah dalam keadaan lemah, sedangkan Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa. Manusia
diciptakan dalam keadaan memerlukan pertolongan orang lain, sedangkan Allah
Maha Kaya dan Maha Terpuji. Manusia beranak dan diperanakkan, sedangkan Allah
tidak beranak dan tidak diperanakkan. Manusia pelupa, sedangkan Allah tidak
pernah keliru dan tidak pula lupa. Manusia serba berkekurangan sedangkan Allah
Maha Sempurna secara mutlak.
“Katakanlah,Dialah Allah yang
Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nyasegala sesuatu, yang
tiada beranak dan tiada diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara
dengan-Nya” (Al-Ikhlas : 1-4)
Allah Maha Esa di dalam
Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya. Keesaan Dzat,
maksudnya adalah bahwasanya Allah itu tiada sekutu bagi-Nya di dalam
kerajaan-Nya.
“Maha Suci Allah, Dialah
yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan” (Az-Zumar : 4)
Adapun sifat Allah
berikutnya adalah sifat-sifat yang tsubutiyah. Allah itu Maha Kuasa,
tidak lemat sedikitpun untuk mengerjakan sesuatu. Allah itu Maha
Berkehendak(Iradah), yakni Allah menentukan sesuatu yang mungkin ada dengan
sebagian apa yang pantas berlaku untuknya. Allah bebas berkehendak
menjadikannya tinggi atau pendek, baik atau buruk, berilmu atau bodoh, dll.
Allah itu Maha Mengetahui (Ilmu), yakni mengetahui segala sesuatu, dan
ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang ada, baik yang terjadi di masa lampau
atau yang sedang terjadi atau yang akan terjadi. Allah itu Dzat yang Maha
Hidup (Hayat), yakni sifat hidup inilah yang membuat pihak yang disifatinya
menjadi layak menerima sifat qudrah, iradah, ilmu, sama’, dan bashar. Andaikata
Dia tidak hidup maka sifat-sifat tersebut tidak aka nada pada-Nya. Allah itu Maha
Berbicara (Kalam), yakni tidak dengan huruf dan tidak pula dengan suara.
Allah telah menetapkan sifat ini kepada diri-Nya sendiri. Allah itu Maha
Mendengar, yakni dapat mendengar segala sesuatu sehingga Dia benar-benar,
dapat mendengar langkah-langkah semut hitam yang berjalan di atas batu licin
diwaktu malam yang gelap gulita. Sebagaimana Dia mampu mendegar segala sesuatu,
Dia-pun Maha Melihat, yakni melihat segala sesuatu dengan penglihatan
menyeluruh mencakup segala yang ada. Penglihatan Allah tidaklah menggunakan
mata seperti cara melihat makhluknya.
Sifat-sifat Allah
diantaranya ada yang disebut sifat Dzat, dan ada juga yang disebut sifat-sifat
af’al (perbuatan). Sifat Dzat adalah tsubutiyah atau sifat-sifat ma’ani
sebagaimana yang diuraikan sebelumnya. Adapun sifat-sifat af’al (perbuatan)
adalah seperti mencipta dan memberi rezeki. Sesungguhnya kita wajib berjalan
mengikuti petunuk sifat-sifat Allah itu, menggunakannya sebagai cahaya penerang
jalan, menjadikan sebagai contoh tauladan teritinggi, dan mencapai puncak
ketinggian jiwa dan peningkatan ruhani yang sempurna. Allah “Rabbul-‘Alamin”
merupakan teladan tertinggi yang wajib diteladani oleh orang beriman, Allah “Maha
Pemurah” mengaruniakan nikmat pada makhluk-makhluk-Nya, dan menampakkan
cinta-Nya kepada mereka, sekalipun mereka tidak mengerjakan suatu amal yang
menyebabkan mereka berhak menerima hal itu. Allah “Maha Pengasih”
memberikan balasan kepada manusia atas amal perbuatanya. Ini juga merupakan
contoh yang sangat tinggi, yang mengharuskan umat manusia membalas kebaikan
orang lain dengan kebaikan pula. Allah “Yang menguasai hari pembalasan”
menghitung amal perbuatan manusia, lalu memberikan balasan kepada orang yang
berbuat buruk dengan balasan setimpal, bukan karena senang menyiksa, melainkan
dengan semangat toleransi (bersediamemberi maaf). Sebagaimana seorang pemimpin
yang penyayang wajib bersikap seperti itu terhadap yang dipimpinnya. Keempat
sifat-sifat Allah tertinggi yang palinng utama, serta keteladanan-Nya yng
sangat tinggi. Apa saja pelajaran yang dapat diambil dari sifat-sifat ini juga
berlaku untuk sifat-sifat yang lain. Dari keempat sifat Allah ini dapat diambil
pelajaran untuk dijadikan tauladan. Demikian pula halnya dari sifat yang lain.
Misalnya sifat cinta dan sayang merupakan cerminan dari sifat-sifat Allah
berikut : 1) Ar-Rauf (Maha Belas Kasihan), 2) Al-Wadud (Maha Mencintai), 3)
At-Tawwab (Maha Menerima Taubat), 4) Al-‘Afuw (Maha Memaafkan), 5)Asy-Syakur
(Maha Pemberi Balasan), 6) As-Salaam (Maha Damai), 7)Al-Mu’min (Maha Pemberi
Rasa Damai), 8)Al-Baar (Maha Baik Dalam Tindakan Dan Pemberian), 9)Rafi’ud
Darajaat (Maha Meninggikan Derajat), 10)Ar-Razaq (Maha Pemberi Rezeki), 10)
Al-Wahhab (Maha Pemberi Karunia), 11) Al-Wasi’ (Maha Luas Anugrah-Nya).
Demikian pula halnya dengan sifat-sifat yang mempunyai makna ‘mengetahui’ yang
tercermin dalam sifat-sifat-Nya sebagai berikut: 1) Al-‘Alim (Maha Mengetahui),
2) Al-Hakim (Maha Bijaksana), 3)As-Sami’ (Maha Mendengar), 4) Al-Bashir (Maha
Melihat), 5) Asy-Syahid (Maha Menyasikan), 6)Ar-Raqib (Maha Mengawasi), 7)
Al-Bathin (Maha Mengetahui Rahasia).
E. Hakikat Iman dan Buahnya
Iman kepada Allah
mencermikan hubungan paling mulai antara manusia dengan Penciptanya. Hal ini
dikarenakan makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan sesuatu
yang ada di dalam diri manusia yang paling mulia adalah hatinya, sedangkan
sesuatu yang ada di dalam hati yang paling mulia adalah keimanan. Diantara
manifestasi iman adalah ahwa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai oleh orang yang
beriman dari pada apapun juga, dan hal itu tampak dalam ucapan, perbuatan dan
perilakunya. Jika di sana masih ada sesuatu yang lebih dicintainya dari pada
Allah dan Rasul-Nya berarti imannanya tidak murni lagi, dan akidahnya
tergoncang. Nabi Muhammad bersabda :
“Ada tiga hal; barangsiapa
dalam dirinya terdapat tiga hal tersebut maka ia benar-benar telah mendapatkan
manisnya iman, yaitu: 1. Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari pada selain
keduanya. 2. Ia mencintai seseorang semata-mata karena Allah. 3. Ia benci
kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam neraka.”
Nabi juga bersabda :
“Tidaklah beriman salah
seorang dari kamu sehingga aku lebih dicintai dari pada orang tuanya, anaknya,
dirinya sendiri, dan manusia seluruhnya” (HR. Bukhari).
Sebagaimana iman tercermin
dalam bentuk cinta (kepada Allah dan Rasul-Nya), maka keimanan juga tercermin
di dalam jihad meninggikan kalimat Allah dan berjuang meninggikan bendera
kebenaran, menghentikan kezaliman dan kerusakan di bumi. Pengaruh dan
dampak iman akan tampak dengan jelas dalam rasa takut kepada Allah.
“Sesungguhnya yang taku
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fathir :28)
Bila ma’rifat seseorang
kepada Allah semakin sempurna maka sempurna pula rasa takutnya kepada Allah. Manifestasi
keimanan yang paling besar adalah berpegang teguh kepada wahyu Allah. Iman
dapat menumbuhkan hubungan yang beraneka macam. Ia dapat mengikat hubungan
antara orang-orang beriman dn Allah, dengan ikatan kasih saying dan cinta. Iman
juga dapat mempererat hubungan antar sesame kaum mukminin atas dasar kasih
sayang. Apabila manusia telah mengenal Tuhannya melalui akal dan hati maka
ma’rifat ini akan menghasikan buah yang masak baginya dan meninggalkan dampak
yang bagus dalam dirinya. Ma’rifat ini juga akan mengarahkan perilakunya
menuju kebaikan dan kebeneran, keluhuran dan keindahan. Buah keimanan dapat
disimpulkan sebagai berikut :
a. Kemerdekaan jiwa dari
kekuasaan orang lain.
b. Iman dapat membangkitkan
keberanian di dalam jiwa dan keinginan untuk terus maju, menganggap enteng
kematian dan menggandrungi mati syahid demi membela kebenaran.
c. Keimanan menetapkan
keyakinan bahwa Allah-lah yang Maha Pemberi rezeki, dan bahwasanya rezeki tidak
dapat dipercepat karena kerakusan orang yang rakus, dan tidak pula dapat
ditolak oleh kebencian orang yang benci.
d.
Rasa tenang dan tentram.
e.
Keimanan dapat meningkatkan kekuatan maknawiyah manusia dan menghubungkan
dirinya dengan contoh taulan tertinggi.
f.
Kehidupan yang baik.
F. Yang Menjadi Kekhawatiran Orang-orang makrifat
“Orang-orang makrifat jika
dalam keadaan lapang itu lebih kerasa kekhawatirannya, daripada ia dalam
keadaan kesempitan, serta ia tidak dapat tetap dalam berdiri diatas batas-batas
adab dalam keadaan lapang kecuali sedikit”.Memang kebanyakan manusia dalam
keadaan lapang itu ia lupa daratan akan hal yang harus diingat pada setiap
saat, yaitu Allah yang memberi kelapangan itu. Dari keterlupaannya ia menjadi
orang yang berperilaku semau gue tanpa mengenal batas-batas yang menjadi
ketentuan dalam agama. Ketahuilah bahwa dalam keadaan lapang itu hawa nafsu
yang tadinya terkuasai ini terbalik menguasai, sebagaimana telah diterangkan di
bab sebelumnya bahwa hawa nafsu itu mengajak kepada perbuatan tercela.
Sebenarnya dalam keadaan
bagaimanapun orang harus ingat dan takut kepada Allah baik dalam keadaan lapang
maupun dalam keadaan sempit.
Perhatikan sabda
Rasulullah SAW :
“ITTAQILLAAHA HAITSU MAA KUNTA”
“Takutlah kepada Allah dimana kau berada”
Akan tetapi menurut orang-orang makrifat dalam keadaan lapang ia banyak
kekhawatirannya daripada dalam keadaan sempitnya. Sebab menurut mereka dalam
keadaan lapang itu suatu kesempatan bagi hawa nafsu. Nah, dari sinilah mereka
khawatir kalau nanti tertarik oleh ajakan hawa nafsu. Misalnya : selalu
mempercaturkan tentang berbagai
kebendaan dunia, dan berbagai kekeramatan yang membikin aib dan risaunya hati
dalm mengingat kapada Allah padahal bagi orang yang berma’rifat dia harus
menghindar dari sifat tersebut untuk menjernihkan hati didalam menghadap Allah.
Memang dalam keadaan lapang itu biasanya banyak manusia tergelincir olehnya,
demikian sebaliknya dalam keadaan sempit bagi orang ma’rifat lebih mendekatkan
kepada keselamatan.
G. Ma’rifat Kepada Allah Berarti Menemukan Puncak Kebesaran Nikmat
Manusia diberi fitrah oleh Allah sejak ia dilahirkan dari kandungan ibunya.
Dari fitrah itu manusia dituntut supaya mengenal Tuhannya. Sebagai pencipta dan
pelindung dirinya. Walaupun ia sudah diberi fitrah oleh Allah tapi dia tidak
mendapat anugerah dari-Nya tentu ia tidak akan bisa mengenal Allah secara
hakiki.
Oleh sebab itu manusia yang tidak mendapat anugerah dari Allah, mereka akan
menemui bermacam-macam pandapat dalam mengenal Tuhan ini, antara lain : ada
manusia yang menuhankan dirinya, seperti Fir’aun, hidup di masa Nabi Musa, dan
ada juga yang munuhankan kepada batu (patung) seperti Raja Namrud beserta
pengikutnya yang hidup pada zaman Nabi Ibrahim.
Jika Allah telah menunjukkan kepada hambanya dengan sebagian sebab-sebab
sehingga ia jadi orang yang ma’rifat, kemudian kepadanya dibukakan pintu
kema’rifatan sehingga ia mendapat ketenangan yang luar biasa, dan ini merupakan
ma’rifat yang paling besar.
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim
tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya)
agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia
melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: `Inilah Tuhanku`. Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam dia berkata: `Saya tidak suka kepada yang tenggelam`. Kemudian tatkala dia
melihat bulan terbit dia berkata: `Inilah Tuhanku`. Tetapi setelah bulan itu
terbenam dia berkata: `Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat`. Kemudian
tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: `Inilah Tuhanku, ini yang
lebih besar`, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: `Hai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan” (Al-An’am 75-79)
Demikianlah liku-liku Ibrahim dalam mencari Tuhan yang sebenarnya. Akhirnya
ia menjumpai tuhan yang sebenarnya yaitu Allah. Inilah ma’rifatnya Ibrahim
kepada Allah yang merupakan anugerah dari-Nya sehingga ia mendapatkan
kenikmatan yang besar dan ketenangan yang luar biasa. Apabila kamu mendapat
jalan ma’rifat yang hakiki maka janganlah kamu hiraukan amalmu yang sedikit.
Sebab diatas telah diterangkan bahwa ma’rifat itu adalah anugerah dari Allah
yang datangnya tidak menggantungkan akan banyak atau sedikitnya amal kebaikan.
Ketauhilah bahwa sesungguhnya maksud dan tujuan manusia memperbanyak amal
kebaikan itu adalah agar dia dapat mentaqorubkan (mendekatkan) diri kepada
Allah. Maka dari itu amal yang sedikit tapi disertai ma’rifat kepada Allah, itu
lebih baik dibandingkan dengan amal yang banyak tapi tidak disertai ma’rifat
kepada Allah. Dalam hal ini dapat dimisalkan seperti orang menderita sakit,
disebabkan penyakit yang dideritanya ini maka menjadi berkuranglah ibadanya
kepada Allah. Bahkan penyakit yang dideritanya itu dapat menimbulkan salah satu
pintu kema’rifatan kepada Allah.
H. Ciri-ciri Orang Yang Ma’rifat Kepada Allah
· Orang yang berma’rifat
kepada allah selalu mengesakan Allah, memuliakan dan mengutamakan Allah, selalu
mendekatkan diri kepada Allah pada waktu susah maupun senang. Begitu juga dalam
pandangan mata hatinya, sepenuhnya tertuju pada kekuasaan Allah.Orang yang
berma’rifat kepada Allah, merasa dirinya selalu diawasi dan di saksikan oleh
Allah, selalu berusaha menjaga hatinya, fikiran maupun tingkah lakunya dari
maksiat. Didalam hati orang yang berma’rifat harus bersih dari sifat kikir,
hawa nafsu dan sifat suka membanggakan dirinya sendiri.Orang-orang ma’rifat,
hidupnya sederhana tapi semangat untuk berjuang, beramar ma’ruf nahi munkar,
dalam arti nyata misalnya: Dia bersedekah
atau menolong fakir miskin dengan ikhlas tanpa ingin di puji, tanpa ingin
mengharap imbalan dan semata-mata mencari ridho Allah.
Orang ahli ma’rifat mengenal Allah, sehingga antar
manusia dan Allah tidak ada perantara. Sehingga seolah-olah mampu berkomunikasi
langsung.Semua dasar dan tuntunan hidup adalah berdasar ajaran rosululloh SAW,
dan berusaha meninggalkan akhlak yang rendah atau tercela, menyerahkan hawa
nafsu ( emosi ) menurut kehendak Allah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, kita
ini dan semua ini milik Allah dan hanya kepadaNyalah kita semua ini akan
kembali.
I. Pandangan Para Ulama’ tentang Ma’rifat
Al-muhasibih mengatakan bahwa ma’rifat harus di tempuh melalui
jalan tasawuf yang didasarkan pada kitab dan sunnah. Al-Muhasibih menjelaskan
tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut :
a.
Taat. Awal dari kecintaan kepada Allah, menurut Al-Muhasibih adalah taat.
Taat tiada lain adalah wujud konkret ketaatan hambahnya kepada Allah.Kecintaan
kepada Allah hanya dapat di buktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar
mengungkapkan ungkapan-ungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan oleh
sebagaian orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan
ungkapan-ungkapan, tanpa pengalaman merupakan kepalsuan semata. Diantara
implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Sinar
ini kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
b.
Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati
merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
c.
Pada tahap ketiga ini, Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan
keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan
menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
d.
Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh semata sufi dengan fana yang
menyebabkan baqa.
Sesungguhnya
Al-ma’rifah yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan tuhan sebagaimana
yang telah di percayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan ilmu-ilmu burhan
dan nazhar milik para hakim, mutakalimin ahli balaghah. Akan tetapi , ia adalah
al-ma’rifah kepada keesaan tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah sebab
mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah
baginya apa yang tidak di bukakan untuk hambah-hambahnya yang lain.
Al-ma’rifah yang ia
pahami adalah bahwa allah menyinari
hatimu dengan cahaya al-ma’rifah yang murni, Seperti mata hari tak dapat
dilihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hambah mendekat
kepada Allah sehingga terasa hilang darinya. Lebur (fanah) dalam kekuasaannya,
mereka merasa hambah berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada
lidah mereka, melihat dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan pebuatan
Allah.
Menurut Al-ghozali ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Allah tentang segala yang ada. Dalam kitab ihya
ulum ad-din, Al-ghozalih membedakan jalan pengetahuan sampai kepada tuhan bagi orang awam, ulama’ dan orang sufi. Oleh
karena itu ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si fulan ada di dalam
rumah, dengan mengikuti perkataan seorang
bahwa si fulan berada di rumah tanpa menyelidiki lagi. Bagi para ulma’
keyakinan adalah ibarat si fulan dirumah, di bangun atas dasar ada
tanda-tandanya seperti ada suara si fulan walaupun tidak kelihatan orangnya.
Sementara orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik
dinding lebih jauh dari itu, ia pun
memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya, bahwa si fulan
benar-benar berada di rumah.
Ma’rifat seorang sufi
tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si fulan berada di rumah dengan
mata kepalanya sendiri ringkasnya ma’rifat menurut Al-ghozali tidak seperti
ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat para ulama’, tetapi ma’rifat sufi
dibangun atas dasar dzuq rohani dan kasyif ilahi. Ma’rifat semacam ini dapat di
capai oleh para khawash auliah tanpa melalui perantara langsung dari Allah,
sebagaimana ilmu kenabian yang langsung di perolah dari Allah, walaupun dari
segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah
melalui perantara malaikat allah, sedangkan para wali mendapatkan ilmu dari
ilham. Meskipun demikian, kedua-duanya sama-sama memperoleh ilmu dri Allah.
A. Kesimpulan
Kita yang telah mengenal
dan mengetahui keberadaan Allah sudah sepatutnya apabila kita senantiasa
mengabdikan diri secara bulat dan utuh semata-mata demi mengharapkan
Keridoannya. Salah satu tanda bagi orang yang berma’rifat kepada allah adalah,
bahwa ia senantiasa bersandar dan berserah diri kepada Allah semata. Apapun
yang telah dan akan terjadi pada dirinya selalu diterima dengan baik. Apabila
ia diberi kenikmatan ia bersyukur,sedang apabila ia mendapatkan musibah ia
terima dengan sabar.
Selain itu orang yang berma’rifat kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagi mahluk yang lemah dan tampa daya, manusia tidak bisa berbuat paa-apa kecuali atas pertolongan dan ijin-Nya. Menurut seorang ahli ma’rifat bernama al Junaid, bahwa seorang belum bisa disebut sebagai ahli ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat :
Selain itu orang yang berma’rifat kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagi mahluk yang lemah dan tampa daya, manusia tidak bisa berbuat paa-apa kecuali atas pertolongan dan ijin-Nya. Menurut seorang ahli ma’rifat bernama al Junaid, bahwa seorang belum bisa disebut sebagai ahli ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat :
a. Mengenal
Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara langsung
dengan-Nya.
b. Dalam
beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW.
c. Berserah
diri kepada Allah dalm hal mengendalikan hawa nafsu.
d. Merasa ahwa
dirinya adalah kepunyaan Allah dan kelak pasti akan kembali kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, sayyid. Aqidah Islamiyah : Pola Hidup Sederhana. Dipponegoro:
Robbani Press, 2008
Mz, Labib dan Maftuh Ahnan. Kuliah Ma’rifat. CV. Bintang Pelajar
Solihin, M. Tokoh-tokoh Sufi. Bandung : Pustaka Setia, 2003
No comments:
Post a Comment