Wednesday 5 November 2014

Ma'rifatullah



 Ma'rifatullah
Oleh : Rizki Zakwandi, dkk

Ma’rifatullah merupakan puncak pengetahuan bahkan merupakan pengetahuan yang paling agung. Ia merupakan asas yang menjadi landasan kehidupan rohani seluruhnya. Definisi dan maksud makrifat dalam pandangan ulama' tasawuf: Sheikh Abdus Samad Al-Palembangi berkata makrifat adalah tujuan terakhir yang ingin diperoleh oleh ulama’ tasawuf.  Ahli Tafsir berpendapat yang dimaksudkan dua syurga di sini ialah syurga dunia dan syurga akhirat. Syurga akhirat (taman indah) yang akan didiami oleh orang mukmin diakhirat kelak, manakala syurga dunia ialah makrifat dengan matahati (syuhud), yang sangat lazat, sedap, manis sehingga tidak hendak lagi akan syurga akhirat itu seperti bidadari-bidadari, makanan-makanan syurga, kota-kota, mahligai-mahligai, pelayan-pelayan muda beliau dan lain-lain lagi. Begitulah seperti dikatakan tuan guru Haji Daud, Bukit Abal, syurga makrifat tersangatlah lazat dan sedapnya.

Sheikh Al-Jurjani berkata, al-Makrifat bermaksud “Mengetahui hakikat sesuatu dan tujuan kewujudan nya, ialah makrifat didahului dengan sifat al-jahil, berbeda dengan sifat al-ilm”. Oleh kerana itu dinamakan Allah swt sebagai al-‘Alim bukan al-‘Arif. Sheikh Ibnu ‘Athaillah berkata, ”Makrifat ialah mengetahui hakikat sesuatu dari sudut zat dan sifat serta mengetahui fungsinya”
Tuan guru Haji Daud Umar  Bukit Abal mengatakan, makrifat tasawuf ialah mengenal Allah swt melalui musyahadah matahati dan bukan melalui dalil akli dan nakli. Makrifat manusia terhadap Allah swt yang telah dialami semenjak di alam arwah itu boleh menjadi terlupa dan terhijab dengan sifat-sifat kemanusiaan yang terdapat pada diri seorang yang salih dan dosa-dosa yang mereka lakukan. Ruh berasal dari alam arwah, seni, halus, bebas dan cemerlang. Setelah dimasukkan kedalam jasad, maka ia menjadi terlupa karena memasuki jasad yang gelap, terbelenggu dan kasar. Untuk mengingatinya kembali, seorang itu perlu bermujahadah untuk membersihkan hatinya, seperti firman Nya, “Dan orang yang berkerja keras didalam agama kami,sesungguhnya kami akan pimpin mereka dijalan-jalan kami dan sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang berbuat kebaikan.”(al-Ankabut:69)

B. Cara Bermakrifat

Ada dua sarana untuk melakukan ma’rifatullah yaitu :
1.      Memikirkan dan memperhatikan segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah.
Menggunakan akal fikiran untuk berma'rifat kepada Allah SWT begitu banyak disinggung dalam Al-Quran :
Berbagai ayat Mengenai hal ini dapat dibaca pada bab Quran & Sains. Beberapa contoh ayat yang menjelaskan hal ini:
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Katakanlah: Periksalah olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan bumi...(Q.S. Yunus: 101)

وَكَأَيِّنْ مِنْ آَيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ
"Alangkah Banyaknya ayat (tanda kekuasaan Allah) di langit dan bumi yang mereka lalui, tetapi mereka itu semua membelakanginya saja (tidak memperhatikannya)."
(Q.S. Ysuf: 105).
2. Mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
Nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan perantara yang digunakan Allah SWT agar Makhluknya dapat berma'rifat kepadaNya.

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Rahman, mana saja nama Tuhan yang kamu seru, Dia adalah mempunyai nama-nama yang baik..." (Q.S. Al-Ira': 110).
Jumhur ulama bersepakat bahwa nama-nama Allah yang baik (Asmaul Husna) itu ada 99 nama. Hal ini berlandaskan pada hadis riwayat Bukhari, muslim dan Tirmidzi yang menjelaskan hadis dari Abu Hurairah Rasulullah saw bersabda yang artinya: Allah itu mempunyai sembilan puluhsembilan nama. Barangsiapa yang menghafalnya (mengingatnya dan menghadirkan dalam kalbu), ia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu Maha Ganjil dan cinta kepada hal yang ganjil".
Ma’rifatullah dapat dilakukan dengan bertafakur. Sesungguhnya tiap organ tubuh mempunyai tugas, sedangkan tugas akal adalah merenungkan, memperhatikan dan memikirkan. Jika potensi ini tidak difungsikan maka hilanglah kerja akal dan tidak berfungsi pula tugasnya. Islam menghendaki agar akal bangkit melepaskan diri dari belenggunya dan bangun dari tidurnya.
Tidak memfungsikan akal dapat menurunkan derajat manusia ke tingkatan yang lebih rendah dari derajat binatang. Taqlid (mengikuti orang lain tanpa mengetahui alasan dan tujuannya) menjadi penghalang bagi kemerdekaan akal dan pengekang akal untuk berpikir. Oleh karena itu Allah memuji orang-orang yang bersikap objektif terhadap berbagai fakta dan dapat membedakan antara yang satu dengan yang lain, sesudah diteliti, diperiksa, dan dicermati lalu mereka mengambil yang terbaik dan meninggalkan yang lain. Allah mencela orang-orang  yang bertaqlid yang tidak mau berpikir kecuali mengikuti pikiran orang lain. Ketika Islam mengajak manusia untuk berpikir, sesungguhnya apa yang dikehendakinya adalah berpikir dalam batas kemampuan dan jangkauan akal.
“Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan jangalah kamu memikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan dapat memikirkan kadar kedudukan-Nya(sebagai mana mestinya).” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam alHilyh secara marfu’ kepada Nabi dengansanad yang lemahtetapi maknanya shahih).
Diantara tujuan paling mulia yang dikehendaki Islam dari upayanya membangkitkan akal dan memfungsikannya untuk merenung dan memikirkan sesuatu adalah memberi petunjuk kepada manusia agar memahami dan kemudian membimbingnya dengan lembut kepada hakikat yang besar yakni mengenal Allah. Sesungguhnya ma’rifatullah itu hanyalah hasil kerja akal pikiran yang cerdas dan memperoleh ilham, dan buah pemikiran yang mendalam dan cemerlang. Sarana lain yang dipergunakan Islam untuk mengenalkan manusia kepada Allah dengan menjelaskan nama-nama Allah yang baik (al-Asma’ al-Husna) dan sifat-sifat-Nya yang luhur.
“Katakanlah: serulah Allah dan serulah Ar-Rahmaan. Dengan nama yang mana saja yang kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaul-Husna (nama-nama yang terbaik)” (Al-Israa’ : 110)
“Dan bagi Allah-lah nama-nama yang terbaik, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul-Husna itu.” (Al-A’raaf : 180)

C. Dzat Ilahiyah

Sesungguhnya hakikat Dzat Tuhan tidak dapat diketahui oleh akal.  Sebab Dzat tuhan memang tidak dapat dijangkau oleh akal, dan sesungguhnya meskipun akal manusia itu cerdas dan kemampuan untuk mengetahui sesuatu telah mencapai puncaknya namun ia sangat terbatas dan sangat lemah untuk mengetahui hakikat berbagai hal. Akal pun tidak mampu mengetahui (hakikat) jiwa manusia itu sendiri. Padahal jiwa manusia itu bukanlah suatu hal yang asing. Persoalan tentang jiwa masih merupakan salah satu persoalan yang sulit dipecahkan oleh ilmu pengetahuan maupun filsafat. Akal juga tidak dapatmengetahui hakikat cahaya. Padahal cahaya merupakan barang yang paling tampak dengan sangat jelas. Ilmu manusia sampai sekarang ini masih tidak mampu menguak banyak hal tentang hakikat alam semesta ini, dan tidak mampu berbicara tentang hal itu secara pasti. Seorang ahli falak terkenal, Kamikl Flamaryun dalam bukunya “Kekuatan Alam Yang Misteri” berkata : “Kami melihat diri kami sedang berfikir. Namun apa itu berpikir? Tidak seorang pun dapat menjawab pertanyaan ini, dan kami melihat diri kami sedang berjalan. Akan tetapi apa sebenarnya kerja itu? Tidak seorang pun mengetahui hal itu.” Keterbatasan akal pikiran, kelemahan untuk mengetahui hakikat sesuatu, dan ketidakmampuan akal untuk mengetahui hakikat jiwa manusia tidaklah berarti menafikan keberadaannya. Kelemahan akal untuk mengetahui hakikat cahaya tidak berarti menafikan adanya cahaya yang memancar diberbagai ufuk. Demikian pula mengenai dzat Tuhan. Bila manusia tidak mampu mengetahui hakikatnya, maka tidak berarti bahwa Dia tidak ada,bahkan Dia ada dan keberadaan-Nya jauh lebih kuat dari segala yang ada. Orang yang meminta pembuktian atas adanya Tuhan bagaikan orang buta yang menuntut bukti atas adanya matahari di siang hari bolong.

  D. Sifat-Sifat Allah

Sifat-sifat yang dimiliki Allah yang diantaranya disebut sifat salsabiyah dan di antaranya ada yang disebut sifat tsubutiyah. Sifat salsabiyah adalah sifat yang meniadakan  segala sesuatu yang tidak layak bagi kesempurnaan Allah.
Sifat salsabiyah tersebut adalah Al-Awwal dan Al-Akhir. Allah adalah dzat yang maha dahulu, artinya bahwa tiada permulaan bagi wujud-Nya dan bahwa wujud Allah tanpa didahului dengan tahap tiada. Allah adalah dzat yang Maha Akhir.  Artinya bahwa Allah itu dzatnya tiada akhir, kekal tanpa batas, dan tanpa berkesudahan. Dia itu Azali (Maha dahulu) dan abadi, tidak didahului oleh siapapun.
“Dialah yang Awwal dan yang Akhir, yang Dhahir dan yang Bathin dan Dia mengetahui segala sesuatu.”(Al-Hadiid : 3)
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”(Al-Qashash :88)
Menurut keterangan hadits-hadits yang ada tampak bahwa ‘Arasy merupakan makhluk bagian atas yang pertama kali diciptakan dan bahwasanya air merupakan makhluk berupa benda yang pertama kali diciptakan. Dan air ini diciptakan sebelum penciptaan ‘Arasy sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi. Sesudah penciptaan ‘Arasy dan air barulah kemudian Allah menciptakan langit dan bumi. Begitu juga tampak dari hadist shahih yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Tirmidzi bahwa makhluk ma’nawi yang pertama kali diciptakan adalah Qalam (pena).
“Diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi bersabda: Sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qolam(pena). Kemudian Allah berfirman kepadanya :’Tulislah’. Kemudian qalam itu terus berjalan mencatat apa yang ada (segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini) sampai datangnya hari kiamat.” (HR Bukhari)
Perlu diketahui tidaklah benar seseorang yang berkata: “Allah telah menciptakan makhluk-makhluk, lantas siapa yang menciptakan Allah?” Hal ini disebabkan pertanyaannya keliru. Pencipta itu bukan makhluk. Sebab andaikata Dia makhluk niscaya memerlukan pencipta. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengetahui dzat Tuhan, sedangkan mengetahui hakikat dirinya pun tidak tahu.
“Orang akan selalu bertanya, sehingga ditanyakan juga hal yang berikut: “Allah telah menciptakan makhluk lalu siapa yang menciptakan Allah?” Maka barang siapa menjumpai pertanyaan seperti itu hendaklah ia berkata: Aku beriman kepada Allah (Yang Maha Pencipta).” (HR. Imam Muslim)
Allah yang Maha Suci tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dia tidak sama dengan apapun. Segala sesuatu yang terlintas dibenak anda maka Dia tidaklah seperti itu
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura : 11)
Manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan lemah, sedangkan Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa. Manusia diciptakan dalam keadaan memerlukan pertolongan orang lain, sedangkan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Manusia beranak dan diperanakkan, sedangkan Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Manusia pelupa, sedangkan Allah tidak pernah keliru dan tidak pula lupa. Manusia serba berkekurangan sedangkan Allah Maha Sempurna secara mutlak.
“Katakanlah,Dialah Allah yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nyasegala sesuatu, yang tiada beranak dan tiada diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” (Al-Ikhlas : 1-4)
Allah Maha Esa di dalam Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya. Keesaan  Dzat, maksudnya adalah bahwasanya Allah itu tiada sekutu bagi-Nya di dalam kerajaan-Nya.
“Maha Suci Allah, Dialah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan” (Az-Zumar : 4)
Adapun sifat Allah berikutnya adalah sifat-sifat yang tsubutiyah. Allah itu Maha Kuasa, tidak lemat sedikitpun untuk mengerjakan sesuatu. Allah itu Maha Berkehendak(Iradah), yakni Allah menentukan sesuatu yang mungkin ada dengan sebagian apa yang pantas berlaku untuknya. Allah bebas berkehendak menjadikannya tinggi atau pendek, baik atau buruk, berilmu atau bodoh, dll. Allah itu Maha Mengetahui (Ilmu), yakni mengetahui segala sesuatu, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang ada, baik yang terjadi di masa lampau atau yang sedang terjadi atau yang akan terjadi. Allah itu Dzat yang Maha Hidup (Hayat), yakni sifat hidup inilah yang membuat pihak yang disifatinya menjadi layak menerima sifat qudrah, iradah, ilmu, sama’, dan bashar. Andaikata Dia tidak hidup maka sifat-sifat tersebut tidak aka nada pada-Nya. Allah itu Maha Berbicara (Kalam), yakni tidak dengan huruf dan tidak pula dengan suara. Allah telah menetapkan sifat ini kepada diri-Nya sendiri. Allah itu Maha Mendengar, yakni dapat mendengar segala sesuatu sehingga Dia benar-benar, dapat mendengar langkah-langkah semut hitam yang berjalan di atas batu licin diwaktu malam yang gelap gulita. Sebagaimana Dia mampu mendegar segala sesuatu, Dia-pun Maha Melihat, yakni melihat segala sesuatu dengan penglihatan menyeluruh mencakup segala yang ada. Penglihatan Allah tidaklah menggunakan mata seperti cara melihat makhluknya.
Sifat-sifat Allah diantaranya ada yang disebut sifat Dzat, dan ada juga yang disebut sifat-sifat af’al (perbuatan). Sifat Dzat adalah tsubutiyah atau sifat-sifat ma’ani sebagaimana yang diuraikan sebelumnya. Adapun sifat-sifat af’al (perbuatan) adalah seperti mencipta dan memberi rezeki. Sesungguhnya kita wajib berjalan mengikuti petunuk sifat-sifat Allah itu, menggunakannya sebagai cahaya penerang jalan, menjadikan sebagai contoh tauladan teritinggi, dan mencapai puncak ketinggian jiwa dan peningkatan ruhani yang sempurna. Allah “Rabbul-‘Alamin” merupakan teladan tertinggi yang wajib diteladani oleh orang beriman, Allah “Maha Pemurah” mengaruniakan nikmat pada makhluk-makhluk-Nya, dan menampakkan cinta-Nya kepada mereka, sekalipun mereka tidak mengerjakan suatu amal yang menyebabkan mereka berhak menerima hal itu. Allah “Maha Pengasih” memberikan balasan kepada manusia atas amal perbuatanya. Ini juga merupakan contoh yang sangat tinggi, yang mengharuskan umat manusia membalas kebaikan orang lain dengan kebaikan pula. Allah “Yang menguasai hari pembalasan” menghitung amal perbuatan manusia, lalu memberikan balasan kepada orang yang berbuat buruk dengan balasan setimpal, bukan karena senang menyiksa, melainkan dengan semangat toleransi (bersediamemberi maaf). Sebagaimana seorang pemimpin yang penyayang wajib bersikap seperti itu terhadap yang dipimpinnya. Keempat sifat-sifat Allah tertinggi yang palinng utama, serta keteladanan-Nya yng sangat tinggi. Apa saja pelajaran yang dapat diambil dari sifat-sifat ini juga berlaku untuk sifat-sifat yang lain. Dari keempat sifat Allah ini dapat diambil pelajaran untuk dijadikan tauladan. Demikian pula halnya dari sifat yang lain. Misalnya sifat cinta dan sayang merupakan cerminan dari sifat-sifat Allah berikut : 1) Ar-Rauf (Maha Belas Kasihan), 2) Al-Wadud (Maha Mencintai), 3) At-Tawwab (Maha Menerima Taubat), 4) Al-‘Afuw (Maha Memaafkan), 5)Asy-Syakur (Maha Pemberi Balasan), 6) As-Salaam (Maha Damai), 7)Al-Mu’min (Maha Pemberi Rasa Damai), 8)Al-Baar (Maha Baik Dalam Tindakan Dan Pemberian), 9)Rafi’ud Darajaat (Maha Meninggikan Derajat), 10)Ar-Razaq (Maha Pemberi Rezeki), 10) Al-Wahhab (Maha Pemberi Karunia), 11) Al-Wasi’ (Maha Luas Anugrah-Nya). Demikian pula halnya dengan sifat-sifat yang mempunyai makna ‘mengetahui’ yang tercermin dalam sifat-sifat-Nya sebagai berikut: 1) Al-‘Alim (Maha Mengetahui), 2) Al-Hakim (Maha Bijaksana), 3)As-Sami’ (Maha Mendengar), 4) Al-Bashir (Maha Melihat), 5) Asy-Syahid (Maha Menyasikan), 6)Ar-Raqib (Maha Mengawasi), 7) Al-Bathin (Maha Mengetahui Rahasia).

 E. Hakikat Iman dan Buahnya

Iman kepada Allah mencermikan hubungan paling mulai antara manusia dengan Penciptanya. Hal ini dikarenakan makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan sesuatu yang ada di dalam diri manusia yang paling mulia adalah hatinya, sedangkan sesuatu yang ada di dalam hati yang paling mulia adalah keimanan. Diantara manifestasi iman adalah ahwa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai oleh orang yang beriman dari pada apapun juga, dan hal itu tampak dalam ucapan, perbuatan dan perilakunya. Jika di sana masih ada sesuatu yang lebih dicintainya dari pada Allah dan Rasul-Nya berarti imannanya tidak murni lagi, dan akidahnya tergoncang. Nabi Muhammad bersabda :
“Ada tiga hal; barangsiapa dalam dirinya terdapat tiga hal tersebut maka ia benar-benar telah mendapatkan manisnya iman, yaitu: 1. Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari pada selain keduanya. 2. Ia mencintai seseorang semata-mata karena Allah. 3. Ia benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam neraka.”
Nabi juga bersabda :
“Tidaklah beriman salah seorang dari kamu sehingga aku lebih dicintai dari pada orang tuanya, anaknya, dirinya sendiri, dan manusia seluruhnya” (HR. Bukhari).
Sebagaimana iman tercermin dalam bentuk cinta (kepada Allah dan Rasul-Nya), maka keimanan juga tercermin di dalam jihad meninggikan kalimat Allah dan berjuang meninggikan bendera kebenaran,  menghentikan kezaliman dan kerusakan di bumi. Pengaruh dan dampak iman akan tampak dengan jelas dalam rasa takut kepada Allah.
“Sesungguhnya yang taku kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fathir :28)
Bila ma’rifat seseorang kepada Allah semakin sempurna maka sempurna pula rasa takutnya kepada Allah. Manifestasi keimanan yang paling besar adalah berpegang teguh kepada wahyu Allah. Iman dapat menumbuhkan hubungan yang beraneka macam. Ia dapat mengikat hubungan antara orang-orang beriman dn Allah, dengan ikatan kasih saying dan cinta. Iman juga dapat mempererat hubungan antar sesame kaum mukminin atas dasar kasih sayang. Apabila manusia telah mengenal Tuhannya melalui akal dan hati maka ma’rifat ini akan menghasikan buah yang masak baginya dan meninggalkan dampak yang bagus  dalam dirinya. Ma’rifat ini juga akan mengarahkan perilakunya menuju kebaikan dan kebeneran, keluhuran dan keindahan. Buah keimanan dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.       Kemerdekaan jiwa dari kekuasaan orang lain.
b.      Iman dapat membangkitkan keberanian di dalam jiwa dan keinginan untuk terus maju, menganggap enteng kematian dan menggandrungi mati syahid demi membela kebenaran.
c.       Keimanan menetapkan keyakinan bahwa Allah-lah yang Maha Pemberi rezeki, dan bahwasanya rezeki tidak dapat dipercepat karena kerakusan orang yang rakus, dan tidak pula dapat ditolak oleh kebencian orang yang benci.
d.      Rasa tenang dan tentram.
e.       Keimanan dapat meningkatkan kekuatan maknawiyah manusia dan menghubungkan dirinya dengan contoh taulan tertinggi.
f.       Kehidupan yang baik.

 F.  Yang Menjadi Kekhawatiran Orang-orang makrifat

“Orang-orang makrifat jika dalam keadaan lapang itu lebih kerasa kekhawatirannya, daripada ia dalam keadaan kesempitan, serta ia tidak dapat tetap dalam berdiri diatas batas-batas adab dalam keadaan lapang kecuali sedikit”.Memang kebanyakan manusia dalam keadaan lapang itu ia lupa daratan akan hal yang harus diingat pada setiap saat, yaitu Allah yang memberi kelapangan itu. Dari keterlupaannya ia menjadi orang yang berperilaku semau gue tanpa mengenal batas-batas yang menjadi ketentuan dalam agama. Ketahuilah bahwa dalam keadaan lapang itu hawa nafsu yang tadinya terkuasai ini terbalik menguasai, sebagaimana telah diterangkan di bab sebelumnya bahwa hawa nafsu itu mengajak kepada perbuatan tercela.
Sebenarnya dalam keadaan bagaimanapun orang harus ingat dan takut kepada Allah baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit.
Perhatikan sabda Rasulullah SAW :
ITTAQILLAAHA HAITSU MAA KUNTA
“Takutlah kepada Allah dimana kau berada”
Akan tetapi menurut orang-orang makrifat dalam keadaan lapang ia banyak kekhawatirannya daripada dalam keadaan sempitnya. Sebab menurut mereka dalam keadaan lapang itu suatu kesempatan bagi hawa nafsu. Nah, dari sinilah mereka khawatir kalau nanti tertarik oleh ajakan hawa nafsu. Misalnya : selalu mempercaturkan  tentang berbagai kebendaan dunia, dan berbagai kekeramatan yang membikin aib dan risaunya hati dalm mengingat kapada Allah padahal bagi orang yang berma’rifat dia harus menghindar dari sifat tersebut untuk menjernihkan hati didalam menghadap Allah. Memang dalam keadaan lapang itu biasanya banyak manusia tergelincir olehnya, demikian sebaliknya dalam keadaan sempit bagi orang ma’rifat lebih mendekatkan kepada keselamatan.

  G. Ma’rifat Kepada Allah Berarti Menemukan Puncak Kebesaran Nikmat

Manusia diberi fitrah oleh Allah sejak ia dilahirkan dari kandungan ibunya. Dari fitrah itu manusia dituntut supaya mengenal Tuhannya. Sebagai pencipta dan pelindung dirinya. Walaupun ia sudah diberi fitrah oleh Allah tapi dia tidak mendapat anugerah dari-Nya tentu ia tidak akan bisa mengenal Allah secara hakiki.
Oleh sebab itu manusia yang tidak mendapat anugerah dari Allah, mereka akan menemui bermacam-macam pandapat dalam mengenal Tuhan ini, antara lain : ada manusia yang menuhankan dirinya, seperti Fir’aun, hidup di masa Nabi Musa, dan ada juga yang munuhankan kepada batu (patung) seperti Raja Namrud beserta pengikutnya yang hidup pada zaman Nabi Ibrahim.
Jika Allah telah menunjukkan kepada hambanya dengan sebagian sebab-sebab sehingga ia jadi orang yang ma’rifat, kemudian kepadanya dibukakan pintu kema’rifatan sehingga ia mendapat ketenangan yang luar biasa, dan ini merupakan ma’rifat yang paling besar.
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: `Inilah Tuhanku`. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: `Saya tidak suka kepada yang tenggelam`. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: `Inilah Tuhanku`. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: `Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat`. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: `Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar`, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: `Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (Al-An’am 75-79)
Demikianlah liku-liku Ibrahim dalam mencari Tuhan yang sebenarnya. Akhirnya ia menjumpai tuhan yang sebenarnya yaitu Allah. Inilah ma’rifatnya Ibrahim kepada Allah yang merupakan anugerah dari-Nya sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang besar dan ketenangan yang luar biasa. Apabila kamu mendapat jalan ma’rifat yang hakiki maka janganlah kamu hiraukan amalmu yang sedikit. Sebab diatas telah diterangkan bahwa ma’rifat itu adalah anugerah dari Allah yang datangnya tidak menggantungkan akan banyak atau sedikitnya amal kebaikan.
Ketauhilah bahwa sesungguhnya maksud dan tujuan manusia memperbanyak amal kebaikan itu adalah agar dia dapat mentaqorubkan (mendekatkan) diri kepada Allah. Maka dari itu amal yang sedikit tapi disertai ma’rifat kepada Allah, itu lebih baik dibandingkan dengan amal yang banyak tapi tidak disertai ma’rifat kepada Allah. Dalam hal ini dapat dimisalkan seperti orang menderita sakit, disebabkan penyakit yang dideritanya ini maka menjadi berkuranglah ibadanya kepada Allah. Bahkan penyakit yang dideritanya itu dapat menimbulkan salah satu pintu kema’rifatan kepada Allah.

H. Ciri-ciri Orang Yang Ma’rifat Kepada Allah

·                Orang yang berma’rifat kepada allah selalu mengesakan Allah, memuliakan dan mengutamakan Allah, selalu mendekatkan diri kepada Allah pada waktu susah maupun senang. Begitu juga dalam pandangan mata hatinya, sepenuhnya tertuju pada kekuasaan Allah.Orang yang berma’rifat kepada Allah, merasa dirinya selalu diawasi dan di saksikan oleh Allah, selalu berusaha menjaga hatinya, fikiran maupun tingkah lakunya dari maksiat. Didalam hati orang yang berma’rifat harus bersih dari sifat kikir, hawa nafsu dan sifat suka membanggakan dirinya sendiri.Orang-orang ma’rifat, hidupnya sederhana tapi semangat untuk berjuang, beramar ma’ruf nahi munkar, dalam arti nyata misalnya:  Dia bersedekah atau menolong fakir miskin dengan ikhlas tanpa ingin di puji, tanpa ingin mengharap imbalan dan semata-mata mencari ridho Allah.
                 Orang ahli ma’rifat mengenal Allah, sehingga antar manusia dan Allah tidak ada perantara. Sehingga seolah-olah mampu berkomunikasi langsung.Semua dasar dan tuntunan hidup adalah berdasar ajaran rosululloh SAW, dan berusaha meninggalkan akhlak yang rendah atau tercela, menyerahkan hawa nafsu ( emosi ) menurut kehendak Allah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, kita ini dan semua ini milik Allah dan hanya kepadaNyalah kita semua ini akan kembali.

I. Pandangan Para Ulama’ tentang Ma’rifat




a.         Taat. Awal dari kecintaan kepada Allah, menurut Al-Muhasibih adalah taat. Taat tiada lain adalah wujud konkret ketaatan hambahnya kepada Allah.Kecintaan kepada Allah hanya dapat di buktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar mengungkapkan ungkapan-ungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebagaian orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengalaman merupakan kepalsuan semata. Diantara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
b.        Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
c.         Pada tahap ketiga ini, Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
d.        Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh semata sufi dengan fana yang menyebabkan baqa.



  Sesungguhnya Al-ma’rifah yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan tuhan sebagaimana yang telah di percayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakalimin ahli balaghah. Akan tetapi , ia adalah al-ma’rifah kepada keesaan tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah baginya apa yang tidak di bukakan untuk hambah-hambahnya yang lain.



Al-ma’rifah yang ia pahami  adalah bahwa allah menyinari hatimu dengan cahaya al-ma’rifah yang murni, Seperti mata hari tak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hambah mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang darinya. Lebur (fanah) dalam kekuasaannya, mereka merasa hambah berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, melihat dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan pebuatan Allah.



Menurut Al-ghozali  ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Allah tentang segala yang ada. Dalam kitab ihya ulum ad-din, Al-ghozalih membedakan jalan pengetahuan sampai kepada tuhan  bagi orang awam, ulama’ dan orang sufi. Oleh karena itu ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si fulan ada di dalam rumah, dengan mengikuti perkataan seorang  bahwa si fulan berada di rumah tanpa menyelidiki lagi. Bagi para ulma’ keyakinan adalah ibarat si fulan dirumah, di bangun atas dasar ada tanda-tandanya seperti ada suara si fulan walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding  lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan  dengan mata kepalanya, bahwa si fulan benar-benar berada di rumah.
Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si fulan berada di rumah dengan mata kepalanya sendiri ringkasnya ma’rifat menurut Al-ghozali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat para ulama’, tetapi ma’rifat sufi dibangun atas dasar dzuq rohani dan kasyif ilahi. Ma’rifat semacam ini dapat di capai oleh para khawash auliah tanpa melalui perantara langsung dari Allah, sebagaimana ilmu kenabian yang langsung di perolah dari Allah, walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali.  Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat allah, sedangkan para wali mendapatkan ilmu dari ilham. Meskipun demikian, kedua-duanya sama-sama memperoleh ilmu dri Allah.




A.  Kesimpulan

Kita yang telah mengenal dan mengetahui keberadaan Allah sudah sepatutnya apabila kita senantiasa mengabdikan diri secara bulat dan utuh semata-mata demi mengharapkan Keridoannya. Salah satu tanda bagi orang yang berma’rifat kepada allah adalah, bahwa ia senantiasa bersandar dan berserah diri kepada Allah semata. Apapun yang telah dan akan terjadi pada dirinya selalu diterima dengan baik. Apabila ia diberi kenikmatan ia bersyukur,sedang apabila ia mendapatkan musibah ia terima dengan sabar.
Selain itu orang yang berma’rifat kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagi mahluk yang lemah dan tampa daya, manusia tidak bisa berbuat paa-apa kecuali atas pertolongan dan ijin-Nya. Menurut seorang ahli ma’rifat bernama al Junaid, bahwa seorang belum bisa disebut sebagai ahli ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat :
a.    Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara langsung dengan-Nya.
b.    Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW.
c.    Berserah diri kepada Allah dalm hal mengendalikan hawa nafsu.
d.   Merasa ahwa dirinya adalah kepunyaan Allah dan kelak pasti akan kembali kepadanya.

DAFTAR PUSTAKA

Sabiq, sayyid. Aqidah Islamiyah : Pola Hidup Sederhana. Dipponegoro: Robbani Press, 2008
Mz, Labib dan Maftuh Ahnan. Kuliah Ma’rifat.  CV. Bintang Pelajar
Solihin, M. Tokoh-tokoh Sufi. Bandung : Pustaka Setia, 2003


No comments:

Post a Comment