Salam Intelektual sahabat cerdas, beberapa pandangan baru bisa menjadi penyegar kita dalam berfikir dan memberikan tambahan dalam referensi baik hidup didunia kerja, dan masyarakat. Beberapa waktu lalu saya mendapat buku tentang sosiologi dan filsafat, meskipun bukan dalam ranah program studi saya secara kusus, tapi sebagai penambah wawasan sangat berarti. kali ini saya menyajikan ringkasan dan simpulan buku tersebut.
Representasi Individu dan
Representasi Kolektif, Absurditas Pelekatan Ide kepada Sel
Eksistensi ingatan cukup untuk
menyatakan bahwa representasi kehidupan tidaklah inheren dalam zat saraf; sebab
ia memiliki cara berada diri sendiri, dan berdasarkan kekuatan-kekuatannya
sendiri. Karena reaksi-reaksi unsur otak satu sama lain diterima dan ditekan
oleh ingatan, bukan satu-persatu tetapi secara keseluruhan dalam apa yang dapat
dinamakan sebagai eksistensi komunal. Bilamana ada kehidupan komunal, maka akan
terdapat dampak-dampak yang jauh melampaui pengaruh unsur-unsur. Itulah sebabnya,
dengan cara yang sama bisa dikatakan bahwa pengetahuan tentang apa saja yang
berlangsung dalam pikiran individu tidak memberikan kunci untuk mengetahui apa
yang ada dalam pikiran kolektif.
Moral
berawal dari anggota suatu kelompok dan ketika dia dianggap menempatkan
individu lebih rendah dibanding kewajiban sosial dan waktu menunjukkan bahwa
dewasa ini kewajiban utama manusia ialah melaksanakan kewajiban profesionalnya. “Masyarakat bukanlah sebuah sistem organ
fungsi tetapi merupakan pusat kehidupan moral”.
“Fungsi masyarakat yang sebenarnya ialah menciptakan ideal”. Oleh karena
itu, masyarakat membentuk suatu pusat asal melalui mana hakikat melintas untuk
kemudian melampaui dirinya sendiri.
Filsafat dan Fakta Moral
Tujuan yang
selalu ingin dikejar dan dicapai oleh para filsuf moral sepanjang zaman sangat
berbeda sifatnya. Sebab mereka tidak pernah mengarah pada suatu tujuan
representasi tertentu, tanpa menambah atau mengurangi realitas moral yang ada.
Ambisi para filsuf moral seringkali adalah membangun moralitas baru, yakni
suatu moralitas yang berbeda dalam tema esensial dengan yang dianut oleh rekan
mereka atau para pendahulu mereka.
Mereka itu biasanya revolusioner atau pemberontak. Sedang persoalan yang
dibahas adalah bagaimana menemukan kandungan moralitas. Bukan kandungan
sebagaimana dipandang oleh filsuf tertentu, tetapi kandungan sebagaimana
dipandang oleh kemanusiaan dalam wujud diri kolektif. Dari sudut pandang ini,
doktrin-doktrin para filsafat tadi kehilangan sebagaian besar nilainya.
Namun
adalah sangat keliru untuk beranggapan bahwa para filsuf itu terabaikan. Yang
ditolak adalah: hak istimewa dan keutamaan yang sering diberikan pada mereka.
Mereka mengajari tentang fakta, mengajarkan tentang apa yang ada dalam pikiran publik pada kurun waktu
tertentu, dan oleh karena itu seharusnya mereka bisa memberikan penjelasan yang
memadai. Yang tidak disetujui adalah: mereka mengungkapkan kebenaran moral
dengan cara yang sangat muluk-muluk sebagaimana pakar fisika atau kimia
menyatakan kebenaran tentang susunan suatu benda di bawah judul fisiko-kimiawi.
Konsepsi para filsuf dan moralis telah banyak membantu untuk memasuki lebih
jauh lagi analisis kita tentang ilmu masyarakat (kesadaran komunal) menuju
lapisan dimana arus yang usang dan separuh sadar tersebut diteliti.
Segala sesuatu
yang bernilai, dalam batas tertentu adalah baik. Segala sesuatu yang baik
berarti diinginkan. Dan semua keinginan adalah keadaan psikologis. Namun
demikian, nilai mempunyai obyektivitas. Bagaimanakah kedua ciri (Pertimbangan
Nilai dan Pertimbangan Realitas) yang sekilas bertentangan ini dapat
dikombinasikan; bagaimana seseorang menyatakan suatu keadaan perasaan, terlepas
dari orang yang merasakannya? Terhadap permasalahan ini ada beberapa tawaran
jawaban yang bertentangan.
Bagi
mayoritas pemikir dari beragam aliran, perbedaan antara kedua jenis
pertimbangan jelas sekali: setiap obyek mempunyai nilai inheren (berhubungan
erat), dan pertimbangan nilai mengungkapkan tidak lebih dari sekadar pengaruh
ciri khas obyek pertimbangan itu terhadap penilai. Jika pengaruhnya digemari,
maka obyek diberi nilai positif, jika tidak, nilai negatif. Jika kehidupan
bernilai bagi manusia, itu karena manusia merupakan makhluk hidup—dan sudah
merupakan sifat makhluk hidup untuk hidup.
Nilai
terdiri dari pengaruh yang dihasilkan oleh sesuatu benda terhadap sensibilitas,
padahal sensibilitas tiap-tiap orang sangat berbeda. Sementara orang gemar
terhadap sesuatu sedang orang lain justru jijik. Kehidupan pun tak diinginkan
semua orang, sebab ada orang yang membunuh—entah karena kewajiban atau
kebencian. Bagaimanapun terdapat banyak ragam untuk menghayatinya. ada yang
menyukai nilai yang intens dan komplek,
ada yang justru menyukai kesederhanaan.
Dapat
dikatakan bahwa ada tipe rata-rata
dalam mayoritas individu, dan bahwa penilaian obyektif terhadap sesuatu
obyek menunjukkan dampak obyek tersebut terhadap rata-rata individu. Oleh
karena itu, tidak dapat melihat pada orang rata-rata tersebut untuk menemukan
standar moralitas. Alasan lain mengapa evaluasi subyektif dan evaluasi
rata-rata tidak boleh dicampuradukkan adalah bahwa reaksi rata-rata individu
tetap merupakan reaksi idividu. Karena suatu kondisi tertentu selalu ditemukan
bersama sebagian terbesar orang. Dengan alasan ini tidak bisa dikatakan bahwa
evaluasi rata-rata adalah obyektif.
Dalam
hal ini, nilai diperoleh dari cara bagaimana benda memengaruhi subyek kolektif,
dan bukan subyek individu. Taksiran menjadi obyektif bila ia telah memiliki
sifat kolektif. Maka dapatlah dijelaskan bahwa kesadaran akan kendala eksternal
berlaku bila seseorang membuat suatu penilaian.
Aspek
pertimbangan nilai bukanlah satu-satunya sebab ada pertimbangan lain yang
bertentangan dengan pertimbangan ini. Nlai-nilai yang sama—yang di satu pihak
mempunyai pengaruh realitas—di lain pihak tampak sebagai sesuatu yang disukai
dan secara alamiah diinginkan. Satu fakta: masyarakat pada saat yang sama
bertindak sebagai legislator sekaligus sebagai pencipta dan pelindung semua
hasil peradaban.
Ada
beberapa jenis nilai yang berbeda. Nilai ekonomi, moral, agama, estetika, dan
nilai spekulatif, semuanya berbeda. Usaha mereduksi suatu nilai menjadi nilai
lain, ide tentang kebaikan, kecantikan, kebenaran, dan kegunaan, semuanya telah
terbukti gagal. Jika apa yang menentukan nilai hanyalah cara sesuatu benda
memengaruhi bekerjanya kehidupan sosial, maka keragaman nilai menjadi sukar
dijelaskan. Dan juga, jika nilai suatu benda ditentukan oleh tingkat kegunaan
sosial atau kegunaan individualnya, maka sistem nilai manusia akan goncang dan
berubah dari atas ke bawah.
Selanjutnya
ditemukan bahwa semua orang sepakat mengandalkan bahwa nilai suatu benda adalah
inheren di dalam, dan menunjukkan hakikat benada itu. Tetapi postulat ini
bertentangan dengan kenyataan. Ada banyak keadaan di mana hubungan itu seperti
tidak ada di antara ciri khas suatu obyek dengan nilai yang diatribusikan
kepada obyek itu.
Teori
yang berlaku sekarang, bahwa benda yang menjadi obyek suatu kultus adalah benda
yang memunyai kekuatan pengaruh kepada pikiran manusia, adalah bertentangan dengan
sejarah. Nilai tak sebanding yang diatribusikan kepada obyek tersebut tidak ada
hubungannya dengan nilai intrinsik obyek tersebut. Tidak ada keyakinan aktif,
betapa pun sekulernya, yang tidak mengandung unsur-unsur pemujaan, dimana
ketidakberimbangan mencolok serupa dapat ditunjukkan. Sebuah bendera hanyalah
potongan kain; namun demikian seorang prajurit bersedia mati demi
memertahankannya. Moralitas juga tidak kurang
kayanya dengan kontras –kontras semacam ini. Maka tidak dapat
disangsikan bahwa persamaan moral adalah suatu ideal yang tidak akan pernah
tercapai, walau pun terus saja diangankan bisa mendekatinya.
Ritschl
dan Kant mengemukakan teori: kalau nilai benda tidak terletak pada benda itu,
dan tidak pula dengan sifat realitas empiriknya, berarti sumber nilai benda
tersebut terletak di luar pengalaman dan secara empirik dapat diverifikasi.
Benda
dikatakan memunyai nilai bila benda tersebut menunjukkan suatu aspek ideal,
sedang tinggi-rendah nilai tersebut bergantung pada ideal itu da paa tingkat
mana ia mewujudkan ideal itu. Namun demikian, nilai yang diatribusikan kepada
ideal itu, tidaklah menjelaskan dirinya sendiri. Ia dipostulasikan, tetapi
tidak menjelaskan. Jika ideal itu bergantung pada realitas, maka mustahil untuk
untuk menemukan dalam realitas kondisi dan penyebab yang membuatnya dapat diterima dengan akal.
Singkatnya,
jika nilai suatu benda tidak dapat dan tidak pernah ditaksir kecuali dalam
hubungannya dengan konsepsi tertentu tentang ideal, maka yang terakhir ini
perlu dijelaskan. Agar dapat mengerti bagaiman pertimbangan nilai bisa muncul,
tidak cukup hanya dengan mempostulasikan bahwa ada sejumlah ideal tertentu.
Asal-usulnya, bagaiman kaitannya satu sama lain, transendensinya,
pengalamannya, dan sifat obyektivitasnya harus turut dipertimbangkan.
Karena
ideal-ideal dan sistem-sistem nilai yang berkaitan beragam sesuai dengan
keragaman kelompok manusia, maka kesannya adalah asal-usul keduanya sama.
sebuah teori menyatakan bahwa masyarakat dianggap sebagai sebuah sistem organ
dan fungsi, yang bertugas memelihara dirinya terhadap perusak dari luar. Tetapi
masyarakat lebih dari gambaran ini sebab masyarakat merupakan pusat kehidupan
moral, hanya saja kekuatan dan independensinya belum dikenal sepenuhnya.
Bila
pikiran-pikiran individu tidak terpisah tetapi merupakan hubungan erat dan
saling memengaruhi satu sama lain, maka dari sintesis ini timbullah suatu jenis
baru kehidupan fisik. Kehidupan fisik ini dapat dibedakan intensitasnya dengan
kehidupan fisik masing-masing individu. Oleh karena alasan ini, aktivitas
tersebut secara kualitatif berbeda dengan kehidupan sehari-hari individu,
seperti perbedaan antara superior dengan inferior, cita-cita dengan fakta. Pada
saat pembiakan kolektif inilah dilahirkan cita-cita besar yang merupakan dasar
peradaban.
Jika
manusia mampu menyusun cita-cita atau bisa juga tidak mampu menyusun tetapi
terikat kepadanya, adalah karena manusia merupakan makhluk sosial. Masyarakat
menggerakkan atau memotori individu agar bangkit mengangkat dirinya sendiri dan
memberinya sarana untuk bisa mencapai hal ini. Melalui kesadarannya sendiri,
masyarakat menggerakkan individu untuk mentransendensikan dirinya dan ambil
bagian dalam kehidupan yang lebih tinggi. Masyarakat tdak dapat dibentuk tanpa
membentuk cita-cita. cita-cita itu sendiri adalah suatu kekuatan dari alam dan
karenanya dapat dikaji secara ilmiah.
Cita-cita
kolektif hanya dapat dimanifestasikan dan sadar akan dirinya sendiri jika
dikonkretkan dalam obyek materiil yang dapat dilihat oleh setiap orang dan bisa
ditunjukkan pada setiap pikiran. Dua benda pada adasarnya bisa saja berbeda
berbeda atau dilihat dari sudut pandang tertentu tidak sama, tetapi jika mereka
mewujudkan cita-cita yang sama maka mereka itu tampaknya sama. Dengan kata
lain, masyarakat mensubstitusikan dunia yang ditampilkan oleh indra dengan
dunia yang berbeda yang merupakan proyeksi cita-cita yang diciptakan oleh
masyarakat itu sendiri.
Dari
uraian di atas dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan hakikat. Pertimbangan
nilai menunjukkan hubungan sesuatu dengan suatu cita-cita. Cita-cita—seperti
halnya benda—adalah suatu realitas yang mempunyai eksistensi tersendiri,
walaupun dalam tatanan yang berbeda. Hubungan yang ditunjukkan ini menyatukan
dua persyaratan seperti yang berlaku dalam pertimbangan realitas. Jadi,
unsur-unsur pertimbangan sama pada keduanya. Namun tidak berarti bahwa keduanya
dapat direduksi satu sama lain; mereka serupa karena keduanya adalah produk
dari kemampuan yang sama.
Sosiologi
positif dituduh hanya memuja fakta dan secara sistematis mengabaikan cita-cita.
Dan tuduhan ini tidak benar. Fenomena sosial utama, agama, moralitas, hukum,
ekonomi, dan estetika, semua itu tidak lebih dari sistem nilai dan karenanya
sistem cita-cita. Sejak semula sosiologi bergerak dilapangan cita-cita.
Sosiologi tidak menghimpun fakta untuk membangun cita-cita, tetapi sebaliknya,
menerima mereka sebagai fakta yang ada, sebagai obyek studi, dan mencoba
menganalisis dan menjelaskan. Maka tujuan sosiologi adalah membawa cita-cita,
dalam berbagai bentuknya, ke lingkungan alam tanpa memasukkan
atribut-atributnya yang khas. Masyarakat memang merupakan bagian dari alam dan
ia kini mendominasi alam. Semua kekuatan semesta tidak hanya berkumpul dalam
masyarakat, tetapi mereka juga membentuk sintesis baru yang jauh lebih kaya,
lebih kompleks, dan lebih kuat daripada masing-masing kekuatan tersebut.
Singkatnya, masyarakat adalah alam yang mencapai titik lebih tinggi dalam
perkembangannya, dan memusatkan segala enerjinya untuk melampaui dirinya
sendiri.
Simpulan: Sosiologi yang
Menghidupkan Kembali Filsafat
Tulisan-tulisan
yang terkumpul dalam buku ini mempunyai satu persamaan, sebab mereka
memperlihatkan pandangan/pemikiran Durkheim, bukan hanya pandangannya tentang
waktu masalah sosiologi tertentu tetapi juga mengenai masalah-masalah umum yang
dihadapi para filsuf, yakni hubungan antara jiwa dengan materi, kesadaran
dengan hakikat, nalar dengan perasaan. Tulisan-tulisan tersebut menunjukkan
pada dalam hal apa dan sampai sejauh mana sosiologi bisa menghidupkan kembali
filsafat.
Pandangan-pandangan
Durkheim yang tertuang dalam tulisan dalam buku ini telah menunjukkan sejauh
mana filsafat Durkheim berbeda dengan filsafat materialis dan organisis. Dalam
artian ini, sosiologisme Durkheim terlihat lebih jauh lagi dan merupakan suatu
usaha untuk menemukan dan membenarkan—dengan cara
baru—kecenderungan-kecenderungan spiritialisme.
No comments:
Post a Comment